Saya masih ingat suatu sore saat meliput acara teknologi kampus di ITB. Di tengah kerumunan booth dan jargon teknis yang bikin kepala pening, ada satu hal yang menarik perhatian: sebuah arena mini menyerupai lapangan futsal, lengkap dengan robot beroda yang saling adu taktik mengejar bola. Di sanalah saya pertama kali mendengar nama yang unik—Dagozilla ITB.
Nama yang terdengar lucu itu, ternyata menyimpan ambisi besar.
Dagozilla adalah tim robotik Institut Teknologi Bandung (ITB) yang fokus mengembangkan robot sepak bola beroda otonom. Berdiri sekitar 2016, tim ini awalnya hanya terdiri dari segelintir mahasiswa teknik elektro yang ingin “main-main” dengan sistem navigasi dan kendali otomatis. Tapi seperti banyak kisah besar lain, keseriusan mereka pelan-pelan menarik minat mahasiswa dari jurusan lain.
Ada yang jago ngoding, ada yang spesialis mekanika, ada juga yang doyan riset sistem visi komputer. Lama-lama, Dagozilla berubah jadi mesin kolaborasi.
Mereka mulai ikut lomba tingkat nasional seperti Kontes Robot Sepak Bola Indonesia (KRSBI) dan perlahan, nama Dagozilla ITB bukan lagi sekadar jargon mahasiswa ITB. Ia jadi simbol prestasi baru dalam dunia robotika Indonesia.
Mesin di Balik Bola: Teknologi Canggih yang Tak Main-Main
Buat yang mengira ini cuma robot mainan yang bisa nendang bola, mungkin kamu perlu rekalibrasi ekspektasi. Dagozilla ITB adalah hasil integrasi beberapa cabang ilmu paling kompleks—dari kecerdasan buatan, sistem kendali, hingga computer vision.
a. Sistem Navigasi dan Lokalisasi
Robot-robot Dagozilla bisa bergerak di lapangan tanpa dikendalikan manusia. Mereka tahu posisi mereka, posisi bola, gawang, dan bahkan musuh. Sistem navigasinya menggunakan kombinasi kamera depth, sensor inersia, dan algoritma seperti Extended Kalman Filter.
Salah satu mahasiswi dari tim perangkat lunak pernah menjelaskan dengan antusias, “Bayangin robot kamu buta, tapi kamu harus bikin dia bisa ‘melihat’ dunia sekitar dan ngambil keputusan dalam milidetik.” Kedengarannya ekstrem, tapi memang begitulah realitanya.
b. Deteksi Objek dengan YOLO
Robot juga harus tahu mana yang bola, mana yang kawan, dan mana lawan. Di sinilah algoritma YOLO (You Only Look Once) berperan. Algoritma ini memungkinkan deteksi objek real-time dengan akurasi tinggi. Karena sepak bola adalah permainan cepat, deteksi visual juga harus secepat mungkin.
“Kalau telat setengah detik, bisa-bisa bola udah dicuri lawan,” kata Andre, anggota tim yang ngoding modul deteksi objek. Ia bercerita sambil tertawa, “Pernah robot kita gol bunuh diri karena sistem salah baca gawang sendiri jadi gawang lawan. Sejak itu, semua orang jadi ekstra paranoid soal training dataset.”
c. Strategi Bermain dan AI
Robot-robot Dagozilla ITB nggak asal gerak. Mereka punya “otak”—dalam bentuk decision-making engine berbasis finite state machine dan deep learning. Mereka bisa memilih kapan bertahan, kapan menekan, bahkan membentuk pola passing seperti tim futsal beneran.
Sistem ini terus dikembangkan dari tahun ke tahun. Mereka mengujinya lewat simulasi puluhan kali sebelum benar-benar diterapkan di lapangan.
Kolaborasi Multidisiplin: Ketika Teknik dan Manajemen Duduk Bareng
Salah satu kekuatan unik Dagozilla ITB adalah keberagamannya. Ini bukan tim yang isinya hanya anak Teknik Elektro atau Informatika. Di dalamnya ada mahasiswa Teknik Mesin, Desain Produk, bahkan Manajemen.
Setiap divisi bekerja seperti departemen kecil dalam startup teknologi. Ada tim software, tim hardware, tim vision (untuk computer vision), serta tim logistik dan dokumentasi.
Menariknya, meski ini proyek teknologi tingkat tinggi, mereka mengelola semuanya seperti perusahaan mini. Dari penggalangan dana, pelaporan proyek, hingga promosi digital. Bahkan mereka pernah bikin media kit dan konten khusus saat akan mengikuti lomba tingkat nasional.
Saya pernah hadir di salah satu sesi latihan mereka di basement kampus Ganesha. Suasananya bukan seperti praktikum biasa—tapi mirip war room. Ada yang fokus nge-debug kode, ada yang nyolder kabel, dan satu orang yang mondar-mandir dengan walkie-talkie kecil, memberi instruksi. Serius, ini kayak adegan dari film fiksi ilmiah remaja.
Lomba dan Prestasi: Ketika Dagozilla Menggebrak Arena Nasional
Kontes Robot Sepak Bola Indonesia (KRSBI) adalah panggung utama Dagozilla selama beberapa tahun terakhir. Mereka bersaing dengan tim-tim dari seluruh Indonesia seperti ITS, UGM, dan Universitas Brawijaya.
Pada tahun 2022, mereka berhasil masuk final nasional dengan performa yang mengesankan. Salah satu pertandingan melawan tim unggulan memperlihatkan strategi robot Dagozilla yang seperti sudah paham taktik tiki-taka. Bola mengalir dari satu robot ke robot lain dengan koordinasi yang, ya… jujur saja, lebih rapi dari tim futsal kampus saya dulu.
Di tahun 2023, Dagozilla ITB membawa 4 robot dalam tim: dua striker, satu defender, dan satu kiper. Masing-masing punya fungsi dan programming tersendiri. Tapi yang menarik adalah bagaimana mereka tetap bisa berkoordinasi meski tidak dikendalikan manusia secara langsung.
Saat saya wawancarai kapten tim mereka tahun lalu, dia bilang, “Tujuan utama kami bukan menang lomba, tapi bikin robot yang benar-benar bisa bermain layaknya manusia. Kalau suatu hari robot Dagozilla bisa melakukan nutmeg ke lawan, itu puncaknya.”
Tantangan Nyata di Balik Mesin Dagozilla ITB
Tentu, tidak semua berjalan mulus. Dagozilla juga punya banyak cerita tentang kegagalan—dan dari sinilah biasanya pelajaran paling berarti muncul.
Contohnya, pada tahun 2021, mereka hampir tidak ikut kompetisi karena salah satu modul kontrol utama mendadak rusak. Spare part-nya langka dan harus diimpor, tapi pandemi membuat semua pengiriman tersendat.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk membuat modul pengganti dari nol—hanya dalam waktu tiga minggu. Hasilnya? Tidak sempurna, tapi cukup untuk bertanding. Dan justru dari situlah, mereka mulai mengembangkan komponen open-source buatan sendiri.
Tantangan lain adalah pendanaan. Karena proyek seperti ini butuh biaya cukup besar—terutama untuk pembelian sensor, kamera, dan sistem kendali—mereka aktif menjalin kerja sama dengan sponsor swasta dan alumni.
Dagozilla ITB dan Masa Depan Robotik Indonesia
Apa yang dilakukan Dagozilla lebih dari sekadar menang lomba. Mereka sedang membangun fondasi untuk masa depan robotik Indonesia. Mereka bukan hanya mencetak robot, tapi mencetak manusia yang kelak jadi pionir teknologi di industri nasional.
Beberapa alumni Dagozilla kini bekerja di perusahaan otomasi, AI, bahkan startup kendaraan otonom. Ada juga yang melanjutkan riset di luar negeri, membawa ilmu dan cerita dari ruang basement kampus Ganesha ke dunia internasional.
Saya pribadi percaya, jika ekosistem seperti ini terus tumbuh, Indonesia punya peluang besar di bidang robotika dan AI. Bayangkan saja, dari sebuah tim kecil mahasiswa, lahir teknologi yang suatu saat bisa diterapkan untuk robot logistik, kendaraan otonom, bahkan rescue robot untuk bencana.
Penutup: Mengapa Kita Harus Bicara tentang Dagozilla?
Karena Dagozilla ITB bukan sekadar cerita mahasiswa jago ngoding. Mereka adalah representasi dari mimpi besar yang dibangun dari solderan kabel kecil, debugging sepanjang malam, dan semangat kolaborasi lintas disiplin.
Kalau kamu mahasiswa, Dagozilla bisa jadi inspirasi bahwa kamu nggak harus nunggu lulus untuk bikin inovasi. Kalau kamu pelaku industri, mereka adalah bukti bahwa SDM lokal bisa menghasilkan teknologi kelas dunia. Dan kalau kamu orang tua, mungkin ini saatnya percaya bahwa bermain robot bukan cuma hobi, tapi juga investasi masa depan.
Satu hal yang pasti: di balik nama “Dagozilla ITB” yang terdengar lucu, ada kerja keras yang sangat serius.
Dan siapa tahu, sepuluh tahun dari sekarang, salah satu robot mereka bukan cuma bermain bola—tapi membantu manusia di Mars.
Baca Juga Artikel dari: Artificial Intelligence: Dari Konsep Hingga Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hari
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Technology