The Last Faith: Keindahan Gotik dan Brutalitas Metroidvania

JAKARTA, teckknow.com – Dalam lanskap game modern yang semakin beragam, The Last Faith muncul sebagai karya yang menggugah nostalgia sekaligus memperkenalkan brutalitas baru dalam genre metroidvania.
Dikembangkan oleh Kumi Souls Games, gim ini memadukan elemen gotik, horor spiritual, dan eksplorasi non-linear, menjadikannya salah satu pengalaman paling atmosferik dalam beberapa tahun terakhir.

The Last Faith adalah bentuk penghormatan terhadap judul-judul legendaris seperti Castlevania: Symphony of the Night dan Blasphemous, namun dengan sentuhan sinematik dan kedalaman naratif yang lebih gelap.
Pemain diajak menyelami dunia yang indah sekaligus muram — dipenuhi reruntuhan katedral, patung suci yang retak, dan makhluk grotesk yang seolah terlahir dari mimpi buruk religius.

Narasi Misterius dan Dunia yang Berdarah The Last Faith

The Last Faith

Salah satu kekuatan utama The Last Faith terletak pada dunia naratifnya.
Pemain berperan sebagai Eryk, sosok misterius yang terbangun tanpa ingatan di tengah reruntuhan kerajaan yang dilanda kutukan.
Kisahnya dibangun melalui environmental storytelling: ukiran batu, catatan rahasia, hingga percakapan singkat dengan karakter samar yang lebih banyak mengajukan pertanyaan daripada jawaban.

Atmosfer The Last Faith mengingatkan pada Dark Souls, namun dengan gaya visual 2D yang lebih melankolis dan padat simbolisme religius.
Setiap langkah membawa nuansa penyesalan, keputusasaan, dan keindahan yang aneh — perpaduan estetika gotik dan spiritual yang jarang ditemukan di game sejenis.

Narasi tidak disampaikan secara eksplisit, melainkan melalui fragmen dan interpretasi pemain, memberi ruang bagi misteri dan rasa ingin tahu.
Inilah yang membuat setiap penemuan di dalam dunia The Last Faith terasa seperti menggali rahasia terlarang yang tersembunyi berabad-abad.

Seni Visual: Lukisan Bergerak yang Menyakitkan Indah

Sulit membicarakan The Last Faith tanpa menyinggung visualnya yang memukau.
Gim ini menampilkan grafik pixel art dengan detail luar biasa, menciptakan dunia yang tampak seperti lukisan gotik hidup — setiap jendela kaca patri, lilin yang berkelap-kelip, hingga hujan yang menetes di atas batu, semuanya terasa nyata dan penuh emosi.

Desain karakter juga luar biasa.
Musuh-musuhnya memiliki bentuk grotesk namun artistik, mulai dari biarawan cacat hingga makhluk bersayap yang tampak seperti perwujudan dosa.
Setiap bos memiliki identitas visual yang kuat, merepresentasikan tema dosa, pengorbanan, dan keabadian dengan sangat dramatis.

Palet warna yang digunakan — dominasi abu-abu, merah darah, dan emas kusam — mempertegas aura kehancuran suci yang menjadi inti estetika permainan ini.
Kumi Souls Games berhasil menghadirkan dunia yang gelap, tetapi justru menawan dalam keputusasaannya.

Gameplay: Brutal, Presisi, dan Memuaskan

Secara mekanis, The Last Faith mengusung gaya metroidvania klasik yang dipadukan dengan combat ala Soulslike.
Pemain akan menjelajahi peta saling terhubung, membuka jalan baru menggunakan kemampuan dan senjata yang didapat seiring progres permainan.

Pertarungan adalah inti dari pengalaman The Last Faith — cepat, brutal, dan penuh risiko.
Setiap musuh menuntut presisi tinggi dalam serangan dan penghindaran.
Kesalahan kecil dapat berarti kematian instan, namun kemenangan membawa rasa puas yang luar biasa.

Sistem senjata dalam gim ini cukup variatif:

  • Pedang dan belati untuk gaya bermain cepat.

  • Senjata berat untuk serangan lambat namun mematikan.

  • Senjata api dan magis yang memberikan opsi jarak jauh.

Sementara itu, sistem upgrade dan customization memungkinkan pemain menyesuaikan gaya bertarung sesuai preferensi — apakah agresif, strategis, atau berbasis sihir.

Tidak seperti banyak game metroidvania lain, The Last Faith menekankan elemen stamina management dan parry timing, menjadikannya lebih mendalam secara mekanis dibanding sekadar platformer aksi.

Desain Level dan Eksplorasi Non-Linear

Dunia The Last Faith tersusun layaknya labirin suci yang penuh rahasia.
Setiap area terhubung dengan logika arsitektur yang halus, menghadirkan perasaan eksplorasi yang otentik.
Dari katedral yang terbakar, hutan berkabut, hingga kuburan batu yang abadi, setiap lokasi memiliki identitas dan tantangan unik.

Eksplorasi menjadi lebih menarik berkat kehadiran shortcut, hidden chamber, dan relic upgrade yang hanya bisa ditemukan jika pemain memperhatikan detail lingkungan.
Pendekatan ini membuat The Last Faith terasa hidup dan memancing rasa penasaran konstan.

Selain itu, elemen backtracking digunakan dengan cerdas.
Area lama sering kali berubah setelah pemain memperoleh kemampuan baru, membuka jalur rahasia dan tantangan tambahan.
Inilah salah satu alasan mengapa The Last Faith memberikan nilai replay tinggi bagi pecinta metroidvania sejati.

Desain Audio dan Musik yang Menghantui The Last Faith

Musik dan efek suara di The Last Faith memainkan peran besar dalam membangun atmosfer.
Komposer gim ini memadukan orkestra gotik dengan elemen ambient yang menegangkan.
Setiap melodi seolah berfungsi ganda: menenangkan sekaligus menakutkan.

Dentang lonceng gereja, langkah kaki di atas batu basah, hingga bisikan samar di latar belakang — semua elemen audio diciptakan untuk memperdalam imersi pemain dalam dunia penuh misteri ini.
Suara musuh pun dirancang dengan nuansa ritualistik, membuat setiap pertemuan terasa sakral namun mencekam.

Soundtrack The Last Faith bisa berdiri sendiri sebagai karya seni, karena tidak hanya memperkuat adegan, tetapi juga menuntun emosi pemain selama perjalanan spiritual mereka di dunia yang hancur.

Kelebihan dan Kekurangan The Last Faith

Seperti karya seni lainnya, The Last Faith memiliki keunggulan dan kekurangan yang membentuk identitasnya:

Kelebihan:

  • Visual pixel art yang menakjubkan dan detail.

  • Atmosfer gotik yang kuat dan imersif.

  • Pertarungan menantang dengan sistem senjata yang variatif.

  • Eksplorasi non-linear yang memuaskan.

  • Musik dan desain suara kelas atas.

Kekurangan:

  • Kurva kesulitan cukup ekstrem bagi pemain baru.

  • Beberapa area memiliki pacing lambat.

  • Narasi terlalu samar bagi mereka yang lebih menyukai plot eksplisit.

Meski begitu, kelemahan tersebut tidak mengurangi kekuatan utama gim ini: perpaduan artistik antara kekerasan dan keindahan.

The Last Faith dalam Konteks Genre Metroidvania

Jika dibandingkan dengan gim sejenis, The Last Faith menempati posisi unik.
Ia tidak sekadar mengadopsi format metroidvania klasik, tetapi menyuntikkan elemen soulslike, spiritualitas, dan tragedi yang membuatnya lebih berkarakter.

Bila Hollow Knight menonjolkan kesedihan dan kehampaan, maka The Last Faith adalah representasi dari penebusan dan penderitaan.
Sementara Blasphemous membawa simbolisme Katolik ekstrem, The Last Faith tampil lebih subtil dan elegan dalam menyampaikan tema religius dan eksistensialnya.

Bagi penggemar berat genre metroidvania, The Last Faith memberikan keseimbangan sempurna antara mekanika klasik dan filosofi modern tentang kefanaan.

Kesimpulan

The Last Faith bukan sekadar gim aksi 2D; ia adalah puisi gotik tentang dosa, pengampunan, dan keindahan yang lahir dari penderitaan.
Visualnya yang memukau, gameplay-nya yang brutal, dan atmosfernya yang menekan menciptakan pengalaman spiritual bagi siapa pun yang berani menelusuri dunia kelamnya.

Kumi Souls Games berhasil membuktikan bahwa seni dan kekerasan bisa bersatu dalam harmoni visual yang luar biasa.
Di antara banyaknya game metroidvania yang hadir tiap tahun, The Last Faith berdiri sebagai karya orisinal — gelap, indah, dan tak mudah dilupakan.

Baca juga konten dengan artikel terkait tentang: Gaming

Baca juga artikel lainnya: Going Medieval: Strategi Bertahan di Dunia Pasca-Kiamat

Author