Darksiders: War, Surga, Neraka, dan Kebangkitan Aksi Hack-and-Slash Modern

Jakarta, teckknow.com – Bayangkan bumi hancur berantakan. Kota-kota menjadi puing, langit terbakar, dan manusia lenyap seolah tak pernah ada. Di tengah kehancuran itu, muncul sosok perkasa bernama War, salah satu dari Four Horsemen of the Apocalypse — pembawa takdir dan penghancur dunia. Begitulah Darksiders memulai perjalanannya pada tahun 2010, dengan satu konsep sederhana namun brilian: “Bagaimana jika Kiamat datang terlalu cepat?”

Game ini dikembangkan oleh Vigil Games dan diterbitkan oleh THQ. Saat itu, pasar game tengah dibanjiri judul besar seperti God of War III dan Bayonetta, tapi Darksiders punya sesuatu yang berbeda — perpaduan antara mitologi apokaliptik dan puzzle bergaya Zelda.
Joe Madureira, sang direktur kreatif (yang juga dikenal sebagai komikus Marvel), membawa sentuhan khasnya ke dalam desain karakter: maskulin, penuh lekukan armor, dan beraroma dark fantasy ala komik Amerika.

Yang menarik, Darksiders tidak sekadar mengandalkan kekuatan tempur. Ceritanya dibangun di atas konspirasi kosmik antara Surga, Neraka, dan Dewan Penyeimbang (The Charred Council). War, sang protagonis, dijebak karena dituduh memicu Kiamat lebih awal. Ia pun menjalani perjalanan panjang untuk membersihkan namanya. Sebuah premis yang membawa pemain ke petualangan penuh dilema moral dan visual epik.

War — Ksatria yang Terlalu Setia

Darksiders

War bukanlah pahlawan konvensional. Ia adalah sosok dingin, disiplin, dan terkekang oleh kode kehormatan. Dalam banyak adegan, ia lebih mirip algojo daripada penyelamat. Namun justru di situlah kekuatan narasi Darksiders — karakter utama yang tidak berjuang demi cinta atau balas dendam pribadi, melainkan kehormatan dan keseimbangan dunia.

Gameplay-nya sendiri menonjol lewat kombinasi hack-and-slash brutal dan teka-teki eksploratif. Pedang legendaris War, Chaoseater, menjadi simbol kekuatan sekaligus beban dosa. Setiap tebasan tidak hanya menghancurkan musuh, tetapi juga mengingatkan pemain pada amarah yang terpendam di balik keheningan War.

Menariknya, Darksiders menghadirkan berbagai elemen puzzle yang mengingatkan pada The Legend of Zelda: Twilight Princess. Pemain harus memutar roda besar, mengaktifkan mekanisme kuno, dan memecahkan teka-teki lingkungan sebelum melawan bos raksasa.
Salah satu momen paling diingat pemain adalah ketika War menunggangi kudanya, Ruin, melintasi gurun berdebu melawan monster raksasa yang keluar dari tanah. Adegan itu tidak hanya megah, tapi juga melambangkan kembalinya sang Penunggang ke takdirnya.

Dari Perang ke Kematian — Evolusi Darksiders II

Kesuksesan Darksiders pertama membuka jalan bagi sekuelnya, Darksiders II, yang dirilis pada 2012. Kali ini, fokus beralih ke Death, saudara War yang lebih tenang namun mematikan.
Jika War mewakili kekuatan mentah dan disiplin, Death adalah kebijaksanaan dalam bayangan. Karakternya jauh lebih kompleks, sering kali mempertanyakan makna “keadilan” dan “penebusan”.

Secara gameplay, Darksiders II memperluas formula aslinya dengan elemen RPG ringan — termasuk sistem loot, level, dan kustomisasi senjata. Dunia pun menjadi lebih luas, terbagi dalam beberapa realm seperti The Forge Lands, The Dead Plains, dan Lostlight.
Setiap wilayah punya tema unik: dari reruntuhan raksasa hingga menara surgawi berwarna emas yang mencolok. Semua dirancang dengan indah, memberikan kesan “open world” yang lebih ambisius dibanding pendahulunya.

Namun, di balik keindahan itu, terdapat kesedihan yang dalam. Death tidak berperang untuk kemuliaan, tetapi untuk menebus dosa saudaranya. Ia ingin menghidupkan kembali umat manusia, meski tahu bahwa tindakan itu bertentangan dengan hukum kosmos.
Itulah daya tarik Darksiders II: kisah tragedi dan pengampunan dalam dunia yang kehilangan makna moral.

Kejatuhan dan Kebangkitan — Krisis Studio & Darksiders III

Ketika THQ bangkrut pada 2013, banyak penggemar khawatir bahwa kisah Four Horsemen akan berakhir di tengah jalan. Vigil Games bubar, dan nasib Darksiders pun menggantung. Namun, takdir berkata lain — lisensi game ini dibeli oleh Nordic Games (yang kemudian menjadi THQ Nordic).
Dari situ, api harapan kembali menyala.

Pada 2018, Darksiders III akhirnya dirilis, membawa protagonis baru: Fury, sang Penunggang ketiga. Ia adalah sosok perempuan penuh emosi, berwatak keras, dan mengandalkan cambuk berapi.
Gameplay-nya bergeser dari gaya hack-and-slash klasik menjadi soulslike — menantang, penuh timing, dan membutuhkan strategi.

Walau tidak sesempurna dua game pertama, Darksiders III punya keunikan tersendiri. Fury berkeliling bumi pasca-Kiamat untuk memburu Tujuh Dosa Mematikan yang kini berwujud makhluk hidup.
Setiap dosa — seperti Envy, Wrath, dan Sloth — digambarkan dengan desain simbolik dan pesan moral yang kuat. Misalnya, Gluttony berbentuk monster rakus yang terus makan daging busuk tanpa henti. Itu bukan sekadar bos, tapi representasi dari kerakusan manusia yang menjadi sumber kehancuran dunia.

Secara naratif, Darksiders III menambah lapisan baru dalam mitologi seri ini. Fury bukan hanya berjuang demi tugas, tapi juga untuk menemukan makna “keseimbangan” sejati — apakah harus menuruti Dewan, atau mendengarkan hati nuraninya sendiri.

Genesis dan Masa Depan — Harapan untuk Penunggang Keempat

Tahun 2019, Darksiders Genesis hadir sebagai kejutan. Bukannya melanjutkan alur utama, game ini mengambil pendekatan top-down action RPG, mirip Diablo.
Tokoh utamanya adalah Strife, Penunggang Keempat, yang dikenal dengan kepribadian humoris dan senjata kembar pistolnya. Ia sering beradu argumen dengan War, menciptakan dinamika “serius vs santai” yang menyegarkan.

Meski lebih ringan, Darksiders Genesis berhasil mengisi celah penting dalam kronologi semesta Darksiders. Kita akhirnya melihat bagaimana keempat Penunggang bekerja bersama sebelum kehancuran bumi terjadi.
Dari segi gameplay, sistem co-op dua pemain menjadi fitur paling menonjol — kombinasi serangan jarak dekat War dan tembakan cepat Strife membuat pengalaman bermain terasa seimbang.

Kini, para penggemar menunggu satu hal besar: Darksiders IV.
Akankah kita melihat keempat Horsemen bersatu? Atau justru menyaksikan akhir dari konflik surgawi yang telah dibangun selama lebih dari satu dekade?
Belum ada konfirmasi resmi, namun THQ Nordic telah beberapa kali memberi isyarat bahwa waralaba ini masih hidup. Dengan komunitas fanatik dan potensi cerita yang belum selesai, kemungkinan kebangkitan Darksiders IV tetap terbuka lebar.

Darksiders dan Jejaknya dalam Dunia Game Modern

Dalam dunia game modern, Darksiders sering disebut sebagai seri underrated paling solid dalam sejarah industri. Ia tidak pernah sepopuler Devil May Cry atau God of War, namun punya basis penggemar yang loyal.
Mengapa demikian? Karena Darksiders bukan sekadar game aksi — ia adalah perpaduan seni, filosofi, dan mitologi yang jarang ada padanannya.

Dari aspek artistik, gaya Joe Madureira masih menjadi inspirasi banyak desainer karakter hingga kini. Dari sisi gameplay, warisan Darksiders bisa dirasakan pada game modern seperti Lords of the Fallen dan Remnant: From the Ashes (yang kebetulan juga dikerjakan oleh mantan tim Vigil Games).
>Dari sisi cerita, dunia Darksiders masih punya ruang besar untuk dijelajahi: kisah sebelum Kiamat, hubungan dengan Dewan, bahkan potensi pengkhianatan antar Penunggang sendiri.

Satu hal yang pasti — Darksiders telah membuktikan bahwa kisah epik tidak selalu lahir dari game dengan bujet raksasa. Kadang, cukup dengan semangat, seni, dan keberanian melawan arus industri.

Penutup:

Darksiders bukan sekadar game aksi. Ia adalah cermin tentang keadilan, keseimbangan, dan pengkhianatan dalam skala kosmik.
Dari War yang dituduh, Death yang berkorban, Fury yang memberontak, hingga Strife yang mencari tawa di tengah kehancuran — keempatnya adalah representasi sisi manusia yang berbeda.
Dalam setiap kisahnya, Darksiders mengingatkan kita bahwa kadang, kehancuran bukanlah akhir — melainkan cara alam menulis ulang keseimbangan.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming

Baca Juga Artikel Dari: God of War Series: Evolusi Dewa Perang yang Mengubah Dunia Game Modern

Author