Menyelami Kegelapan: Kisah Epik di Balik Game Dante’s Inferno dan Daya Tariknya yang Abadi

Jakarta, teckknow.com – Tahun 2010, dunia game diguncang oleh kehadiran Dante’s Inferno, sebuah game aksi petualangan besutan Visceral Games, developer yang juga dikenal lewat Dead Space. Di tengah maraknya game aksi bertema futuristik dan fantasi ringan, Dante’s Inferno datang dengan premis yang jauh lebih kelam — perjalanan seorang kesatria menuju neraka demi menyelamatkan jiwa kekasihnya.

Game ini terinspirasi dari karya klasik sastra Italia, Divine Comedy karya Dante Alighieri, terutama bagian pertamanya yang berjudul Inferno. Namun, tentu saja, adaptasi yang diambil bukan dalam bentuk puisi atau alegori spiritual — melainkan disulap menjadi pengalaman sinematik penuh darah, dosa, dan amarah manusia.

Cerita dimulai ketika Dante, sang prajurit Perang Salib, kembali ke rumah dan mendapati tunangannya, Beatrice, terbunuh dan jiwanya diseret ke neraka. Rasa bersalah dan keinginan menebus dosa mendorongnya menantang alam baka untuk menjemput kembali sang kekasih. Dari sinilah perjalanan melintasi sembilan lingkaran neraka dimulai — setiap lingkaran merepresentasikan dosa besar manusia: dari nafsu hingga pengkhianatan.

Yang menarik, Dante’s Inferno bukan sekadar kisah pembalasan atau cinta tragis. Ia adalah refleksi moral yang dibalut dalam kemasan brutal. Banyak pemain merasa seperti sedang memainkan versi modern dari “ritual pengakuan dosa”. Ada nuansa religius yang kuat, tapi disajikan dengan cara yang mengguncang, bahkan kontroversial untuk zamannya.

Adaptasi Sastra yang Menggelegar: Dari Puisi ke Pedang

Dante’s Inferno

Membawa karya sastra abad ke-14 ke dunia video game bukan perkara mudah. Divine Comedy adalah literatur kompleks yang penuh simbolisme spiritual, teologi, dan filsafat. Namun, Visceral Games berhasil menafsirkan esensi ceritanya ke bentuk yang lebih bisa “dirasakan” oleh pemain modern.

Dalam game, Dante digambarkan sebagai kesatria penuh luka batin, bukan penyair bijak seperti dalam puisi aslinya. Ia bukan sekadar saksi dosa, melainkan pelaku yang berusaha menebus kesalahan. Perubahan karakter ini membuat Dante’s Inferno terasa lebih personal dan emosional — seolah kita sedang memainkan perjalanan batin manusia biasa yang tersesat dalam pencarian makna hidup dan penyesalan.

Setiap lingkaran neraka dirancang dengan tema visual yang menggambarkan jenis dosa yang menghuni tempat itu. Misalnya:

  • Lingkaran Nafsu: dipenuhi arwah yang terombang-ambing dalam badai tanpa henti, simbol dari nafsu yang tak pernah puas.

  • Lingkaran Keserakahan: menampilkan makhluk yang menimbun emas dan harta, terus berguling di antara logam yang mereka sembah.

  • Lingkaran Kekerasan: lautan darah mendidih dengan jiwa-jiwa yang tenggelam karena kebrutalan mereka semasa hidup.

Desain ini bukan hanya memanjakan mata, tapi juga menyindir realitas manusia modern — bahwa dosa bukan lagi sekadar konsep religius, melainkan cermin perilaku sehari-hari.

Menariknya lagi, Dante’s Inferno tidak hanya meniru gaya God of War (yang memang menjadi inspirasi mekaniknya), tapi justru menambahkan lapisan psikologis dan religius yang membuatnya lebih berat secara emosional. Sembilan lingkaran neraka bukan hanya level — tapi tahap introspeksi diri.

Gameplay Brutal dan Simbolisme yang Dalam

Kalau bicara gameplay, Dante’s Inferno menyajikan perpaduan antara aksi cepat dan atmosfer horor yang menekan. Senjata utamanya adalah Scythe of Death, sabit besar milik Malaikat Maut yang direbut Dante setelah membunuhnya di awal permainan. Ada juga Holy Cross, salib suci yang bisa digunakan untuk serangan jarak jauh dan menebus jiwa-jiwa yang tersesat.

Setiap serangan, setiap keputusan moral, bahkan setiap “pembenaran” yang Dante lakukan dalam game memiliki konsekuensi spiritual. Pemain diberi pilihan untuk mengampuni atau menghukum musuh-musuhnya — sebuah sistem moral yang sederhana tapi menyengat. Pilihan ini akan memengaruhi kekuatan yang kamu peroleh serta cara dunia di sekitar bereaksi terhadapmu.

Selain pertarungan epik melawan iblis dan makhluk grotesque, ada momen-momen introspektif yang mengaduk perasaan. Dante kerap dihantui oleh bayangan masa lalunya: pengkhianatan, kebohongan, dan dosa yang tak pernah ia tebus. Dalam beberapa cutscene, pemain bahkan dipaksa untuk menyaksikan sendiri keburukan yang dilakukan karakter utama — bukan dari perspektif orang lain, tapi langsung di depan mata.

Game ini, dalam banyak hal, adalah perjalanan psikologis yang lebih dalam dari sekadar aksi hack-and-slash. Ia menggali rasa bersalah, moralitas, dan konsep penebusan dalam konteks manusia yang penuh kelemahan. Bahkan banyak penggemar menyebut Dante’s Inferno sebagai “game yang membuatmu merenungkan dosa sendiri setelah memainkannya.”

Kontroversi, Citra Religius, dan Penerimaan Dunia

Saat dirilis, Dante’s Inferno langsung memicu perdebatan. Beberapa kalangan religius menilai game ini “terlalu bebas” dalam menggambarkan simbol-simbol suci. Ada salib, malaikat, dan iblis yang dipelintir menjadi adegan aksi berdarah. Bahkan promosi gamenya pernah menggunakan kampanye satir bertajuk “Go to Hell Tour”, yang membuat beberapa kelompok gereja bereaksi keras.

Namun di sisi lain, justru kontroversi inilah yang membuat Dante’s Inferno dikenal luas. Ia berani menantang tabu, membongkar ketakutan manusia terhadap neraka, dan menafsirkan ulang konsep spiritualitas dalam bentuk hiburan interaktif.

Secara teknis, game ini menuai pujian karena visualnya yang memukau di zamannya, serta desain level yang kreatif. Kritik datang pada sisi durasi permainan yang relatif pendek, hanya sekitar 7–8 jam. Tapi bagi banyak gamer, intensitas emosional dan atmosfernya cukup untuk membuat pengalaman itu membekas lama.

Salah satu hal yang paling diingat adalah soundtrack-nya. Musik orkestra yang megah bercampur dengan lantunan paduan suara Latin, menciptakan suasana sakral sekaligus mencekam. Rasanya seperti berada di gereja yang terbakar — penuh keindahan dan ketakutan sekaligus.

Jejak Abadi: Dari Neraka ke Legenda

Lebih dari satu dekade berlalu, Dante’s Inferno tetap menjadi topik perbincangan di komunitas gamer. Meski belum pernah mendapatkan sekuel resmi, banyak penggemar berharap ada kebangkitan seri ini di konsol modern.

Bahkan, dalam diskusi gaming di berbagai forum, nama Dante’s Inferno kerap muncul berdampingan dengan God of War, Bayonetta, dan Devil May Cry — tiga game aksi legendaris yang dikenal karena kedalaman tema dan gaya bertarungnya.

Namun keunggulan Dante’s Inferno tidak hanya terletak pada gameplay atau visual, melainkan pada pesan moralnya. Ia berbicara tentang dosa, penyesalan, dan cinta — hal-hal yang sangat manusiawi. Di akhir permainan, Dante tidak hanya melawan iblis, tapi juga dirinya sendiri. Dan ketika ia akhirnya mencapai Beatrice, yang tersirat bukan kemenangan fisik, melainkan pengampunan.

Dalam dunia game modern yang kini dipenuhi tema futuristik, battle royale, dan open world, Dante’s Inferno terasa seperti relik dari masa lalu — tapi juga seperti pengingat akan pentingnya narasi yang berani dan emosional. Ia adalah bukti bahwa video game bisa menjadi medium untuk refleksi spiritual tanpa harus kehilangan daya hiburannya.

Neraka sebagai Cermin Jiwa Manusia

Bagi banyak pemain, pengalaman memainkan Dante’s Inferno bukan hanya perjalanan di dunia fiksi, melainkan bentuk introspeksi diri. Neraka dalam game ini bukan tempat abstrak — melainkan metafora untuk sisi gelap yang ada di setiap manusia.

Ketika Dante menuruni lingkaran-lingkaran dosa, ia sesungguhnya sedang menyelami jiwanya sendiri. Ia bertemu dengan bayangan masa lalunya, orang-orang yang ia sakiti, hingga sosok ayahnya sendiri yang penuh kebencian.

Game ini menunjukkan bahwa neraka bukan semata tempat hukuman, tapi juga arena penebusan. Dan hal itu terasa begitu relevan bagi siapa pun yang pernah bergulat dengan rasa bersalah atau kehilangan.

Ada satu adegan yang sering dikutip pemain sebagai momen paling menyentuh: ketika Dante akhirnya mengakui bahwa dirinya bukan pahlawan, melainkan manusia biasa yang penuh dosa. Momen itu sederhana, tapi mengguncang — seperti pengakuan jujur yang selama ini kita hindari.

Penutup: Api Neraka yang Tak Pernah Padam

Pada akhirnya, Dante’s Inferno bukan hanya sekadar game aksi berdarah. Ia adalah karya seni yang memadukan sastra klasik, refleksi moral, dan hiburan modern dalam satu paket yang menggugah. Meskipun banyak kontroversi mengelilinginya, tak bisa dipungkiri bahwa game ini meninggalkan warisan penting dalam dunia narasi interaktif.

Dalam setiap ayunan sabit Dante, terselip pesan tentang pencarian makna hidup, pengampunan, dan penebusan. Tentang bagaimana manusia — dengan segala kelemahannya — masih berjuang untuk menjadi lebih baik, bahkan ketika harus menembus neraka sekalipun.

Dan mungkin, di sanalah letak daya tarik abadi Dante’s Inferno: ia tidak hanya mengajak pemain bertarung, tapi juga merenung.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming

Baca Juga Artikel Dari: Darksiders: War, Surga, Neraka, dan Kebangkitan Aksi Hack-and-Slash Modern

Author