Jakarta, teckknow.com – Ada game yang dibuat untuk menghibur, ada yang dirancang untuk menguji logika, lalu ada yang—anehnya—mengajak kita merenungkan siapa sebenarnya diri kita. The Talos Principle masuk kategori ketiga. Game puzzle ini bukan sekadar permainan, tetapi perjalanan filosofis yang dirancang halus oleh Croteam, studio yang dikenal dengan aksi gila Serious Sam, namun tiba-tiba menghadirkan sesuatu yang jauh lebih sunyi, dalam, dan kontemplatif.
Begitu memainkan game ini, kesan pertama yang muncul adalah rasa “asing tapi akrab.” Kamu berdiri di tengah taman penuh reruntuhan kuno, lalu suara yang menyebut dirinya Elohim memanggilmu. Nada suaranya seperti perpaduan antara dewa, mentor, dan sistem AI yang tidak sepenuhnya ingin kamu percaya. Ia menyuruhmu memecahkan puzzle demi puzzle, mengumpulkan sigil, dan menjauhi Menara yang menjulang di kejauhan.
Larangan itu, tentu saja, menjadi undangan.
Game ini membawa atmosfer tenang yang nyaris spiritual. Tidak ada musik berlebihan, tidak ada dialog panjang, tetapi ada keheningan yang membuatmu sadar bahwa dunia ini menyimpan rahasia. Media gaming nasional bahkan pernah menyebutnya sebagai “simulasi filsafat yang dikemas dalam bentuk puzzle.”
Di sinilah perjalanan panjangmu dimulai. Pelan namun pasti, setiap puzzle dan setiap terminal teks mulai menunjukkan bahwa dirimu mungkin bukan sekadar karakter biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang berkaitan dengan asal usul manusia, kehancuran dunia, dan makna menjadi makhluk yang sadar.
Dunia Misterius yang Memancing Rasa Penasaran

Ketika pertama kali menjelajahi area awal, kamu merasa sedang berada di antara reruntuhan kuno yang dipadukan dengan teknologi futuristik. Tempatnya indah, tapi ada nuansa janggal yang membuatmu bertanya-tanya. Seolah dunia ini sengaja diciptakan dari potongan-potongan masa lalu yang tidak saling berkaitan.
Elohim akan terus memanggilmu, memberikan instruksi seperti seorang figur ayah yang mengawasi. Ia berkata bahwa tugasmu adalah membuktikan dirimu layak. Kata “layak” adalah kunci yang akan terus kamu pertanyakan sepanjang cerita.
Puzzle pertama terlihat sederhana. Kamu menggunakan jammer untuk mematikan turret atau dinding energi. Semuanya tampak seperti pelatihan dasar. Namun semakin jauh kamu melangkah, kompleksitas puzzle meningkat, struktur area berubah, dan kamu mulai menyadari bahwa dunia ini bukan sekadar taman latihan—melainkan lapisan-lapisan simulasi yang menunggu untuk dibongkar.
Salah satu hal yang paling kuat dari game ini adalah atmosfer heningnya. Keheningan itu bukan tanda kekosongan, melainkan ruang untuk berpikir. Kamu punya waktu untuk bertanya:
Siapa aku?
Mengapa aku di sini?
Apakah dunia ini nyata?
Beberapa pemain bahkan mengaku menyelesaikan puzzle sambil memikirkan isu AI dan dunia digital modern, karena game ini terasa sangat relevan ketika dibenturkan dengan perkembangan teknologi masa kini.
Puzzle sebagai Bahasa Berpikir
Banyak game puzzle yang memaksa pemain mencoba-coba secara buta, tetapi The Talos Principle mengambil pendekatan berbeda. Puzzle-nya adalah cara permainan ini mengajarkan kamu tentang pola berpikir. Setiap rintangan terasa seperti metafora kehidupan: kamu gagal, mencoba lagi, gagal lagi, sampai akhirnya menemukan celah logika yang sebelumnya tidak terlihat.
Jenis puzzle yang ditawarkan sangat beragam. Ada puzzle laser yang butuh jalur tepat, puzzle jammer yang memerlukan proses trial and error, hingga puzzle recorder yang memungkinkan kamu bekerja sama dengan “versi dirimu sendiri.” Konsep recorder ini sering membuat pemain tertegun karena benar-benar butuh pemahaman timing, koordinasi, dan imajinasi.
Ada satu cerita menarik dari seorang teman saya. Ia bilang, “Puzzle recorder itu kayak kerja kelompok tapi anggota kelompoknya cuma kamu, dan kamu tetap bisa salah paham dengan dirimu sendiri.” Aneh tapi ya… benar juga.
Di dunia profesional, puzzle seperti ini relevan karena melatih kemampuan berpikir non-linear. Kamu tidak cukup menghafal solusi. Kamu harus memahami struktur sistemnya. Bahkan, beberapa puzzle bisa diselesaikan dengan cara alternatif yang tidak diprediksi developer—sebuah bukti bahwa game ini memberi ruang untuk kreativitas liar.
Media Indonesia menyebut puzzle The Talos Principle sebagai “latihan mental sekaligus ujian kesabaran,” dan itu terasa tepat. Tidak ada penalti ketika salah. Tidak ada skor yang mengejar. Kamu hanya berhadapan dengan dunia yang diam menunggu sampai kamu menemukan jawabannya sendiri.
Filosofi yang Menyelinap Tanpa Menggurui
Filsafat dalam The Talos Principle hadir dengan cara yang elegan. Tidak ada kuliah panjang tentang tokoh-tokoh besar, tetapi ada pertanyaan-pertanyaan reflektif yang muncul melalui terminal komputer. Di terminal inilah kamu bertemu Milton Library Assistant, AI dengan kepribadian yang tajam dan sedikit manipulatif.
Milton sering menanyaimu dengan pertanyaan eksistensial. Misalnya:
Apakah kesadaran membutuhkan tubuh biologis?
Apakah makna hidup bisa ditentukan oleh penciptamu?
Jika AI berpikir dan belajar, apakah ia dianggap hidup?
Pertanyaannya tidak pernah benar-benar dijawab. Game ini justru mendorongmu untuk berhenti sejenak dan berpikir. Terkadang, Milton hanya ingin memeriksa cara kamu mengambil keputusan, bukan menemukan jawaban absolut.
Narasi ini menjadi semakin relevan ketika melihat perkembangan AI dan teknologi modern. Media berita pernah membahas bagaimana The Talos Principle terasa seperti kritik dan refleksi terhadap masa depan manusia yang bersanding dengan mesin cerdas.
Beberapa file dalam game membahas kehancuran manusia, eksperimen ilmiah terakhir, dan keinginan umat manusia untuk meninggalkan “warisan intelektual” melalui entitas digital. Semakin banyak file yang kamu buka, semakin jelas bahwa dunia yang kamu jelajahi hanyalah simulasi untuk mencari penerus—makhluk cerdas yang mampu berpikir moral dan eksistensial.
Menara: Simbol Pembangkangan dan Pencerahan
Dari awal permainan, Elohim menyuruhmu untuk tidak memanjat Menara. Larangan itu terus diulang, seolah ia takut kamu mengungkap sesuatu yang tidak seharusnya. Namun, seperti kisah-kisah klasik, larangan justru menjadi magnet.
Menara menjadi simbol keingintahuan, pembangkangan, dan kebebasan berpikir. Banyak pemain memilih memecahkan puzzle biasa terlebih dahulu, tetapi selalu ada momen ketika rasa penasaran memuncak dan kamu akhirnya naik ke atas.
Setiap lantai Menara berisi puzzle yang semakin rumit. Namun, bukan itu yang membuatnya menarik. Yang membuatnya penting adalah narasi yang perlahan terungkap. Kamu mulai memahami bahwa Elohim bukan figur ilahi, melainkan bagian dari program yang menjalankan simulasi. Kamu, di sisi lain, bukan sekadar subjek—kamu adalah eksperimen itu.
Keputusan untuk menaiki Menara atau patuh pada Elohim adalah metafora tentang pilihan manusia untuk berpikir bebas atau mengikuti sistem. Media teknologi lokal sekali menyebut climactic ending game ini sebagai “salah satu momen paling emosional dalam sejarah game puzzle,” dan saya pribadi setuju.
Pada akhirnya, game ini memberi ruang bagi pemain untuk memilih jalannya: mengikuti perintah, atau mencari kebenaran sendiri.
Kesimpulan: The Talos Principle Adalah Puzzle Tentang Hidup
The Talos Principle bukan game puzzle biasa. Ini karya yang mengajak pemain merasakan perjalanan personal, intelektual, dan emosional. Puzzle-nya memancing logika, narasinya memprovokasi pikiran, dan dunianya mengundang kontemplasi.
Game ini relevan di era digital, ketika kita mulai mempertanyakan batas antara manusia dan mesin. Apalagi dengan kemunculan teknologi AI dan simulasi yang semakin canggih.
Jika kamu mencari game yang bukan hanya memecahkan puzzle, tetapi juga membangun cara pandang baru tentang kehidupan dan kesadaran, The Talos Principle adalah salah satu pilihan terbaik.
Dan tanpa terasa, setelah menulis ini, saya jadi ingin memainkan ulang game tersebut. Kadang, kita memang butuh sedikit perjalanan filosofis di tengah hiruk pikuk dunia nyata.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming
Baca Juga Artikel Dari: Membedah Fenomena “Baba Is You”: Game Puzzle Cerdas yang Mengubah Cara Kita Berpikir