JAKARTA, teckknow.com – Ada sesuatu yang tak terlupakan dari Tales of Crestoria. Meski sudah beberapa tahun berlalu sejak game ini dirilis, namanya masih bergema di kalangan pencinta JRPG. Game mobile garapan Bandai Namco ini sebenarnya adalah bagian dari seri besar Tales of, sebuah warisan panjang RPG Jepang yang dikenal karena kisah moralnya yang dalam dan karakter-karakternya yang begitu manusiawi.
Yang membuat Tales of Crestoria berbeda bukan hanya gameplay-nya, tapi tema utamanya: dosa. Ya, dosa — sesuatu yang jarang diangkat secara frontal dalam game RPG mobile. Ceritanya berpusat pada Kanata Hjuger, seorang pemuda yang hidup di dunia di mana setiap kesalahan atau dosa langsung terekspos ke publik lewat sistem bernama Vision Orb. Dunia ini memuja “kebenaran” tapi di sisi lain, menghukum mereka yang berbeda dengan kejam.
Kanata, bersama gadis bernama Misella, justru memilih untuk melanggar aturan suci itu — demi cinta dan rasa kemanusiaan. Keputusan ini membuat mereka dijuluki sebagai “Transgressor” atau pelanggar, yang otomatis diburu. Dari situlah perjalanan emosional mereka dimulai.
Sebagai pembawa berita dan gamer, saya masih ingat pertama kali menonton opening-nya. Musik yang dibawakan oleh Kankaku Piero, Howling for Honey, langsung mencengkeram hati. Tidak ada ledakan besar atau aksi bombastis — hanya tatapan sedih dua orang muda yang tahu mereka akan melawan seluruh dunia.
Visual dan Musik: Dua Elemen yang Tak Pernah Gagal Menyentuh

Ada alasan mengapa Tales of Crestoria begitu dicintai bahkan setelah layanannya dihentikan. Game ini seperti karya seni digital yang hidup. Visualnya bukan sekadar “cantik”, tapi juga penuh makna emosional. Karakter-karakter seperti Kanata, Misella, Vicious, dan Orwin didesain dengan detail ekspresif yang mencerminkan trauma dan penyesalan mereka masing-masing.
Yang menarik, meski game ini berbasis mobile, Bandai Namco tetap mempertahankan gaya animasi khas Tales Series. Beberapa cutscene bahkan digarap oleh studio animasi ternama yang juga terlibat dalam seri Tales of Arise.
Musiknya, disusun dengan penuh perasaan — ada lagu tema yang lembut namun tragis, dan battle theme yang membuat jantung berdebar tanpa kehilangan kedalaman emosinya. Saat pemain memasuki pertarungan melawan musuh besar, suara orkestra bercampur dengan vokal lembut menciptakan kontras indah antara kekacauan dan keputusasaan.
Banyak pemain mengaku mereka bermain bukan hanya untuk “menang”, tapi untuk merasakan kisah yang berjalan di setiap chapter. Itu sebabnya, ketika server Tales of Crestoria resmi ditutup, media sosial dipenuhi ucapan duka dari para pemain. “Game ini membuatku menangis,” tulis seorang pemain. Kalimat sederhana, tapi menggambarkan betapa dalamnya hubungan antara game dan pemainnya.
Cerita yang Menggigit: Tentang Moral, Cinta, dan Rasa Bersalah
“Jika cinta itu dosa, maka aku akan mencintaimu dalam neraka.”
Kalimat ini, yang pernah muncul di trailer promosi Tales of Crestoria, menjadi simbol dari narasi game ini. Di dunia yang serba putih dan hitam, Kanata dan Misella menolak untuk percaya bahwa cinta adalah kejahatan.
Cerita mereka bukan kisah romantis yang manis. Ini kisah pahit tentang dua orang muda yang dibentuk oleh sistem kejam. Kanata, sebagai anak pendeta, tumbuh dengan nilai moral yang kaku. Namun ketika Misella — gadis yang ia sayangi — terancam, ia rela melanggar semua aturan yang diajarkan kepadanya.
Kisah ini berkembang menjadi refleksi moral yang mendalam: apakah dosa itu mutlak? Apakah “kejahatan” selalu berarti salah? Vicious, karakter misterius yang kemudian menjadi mentor Kanata, sering berbicara seperti filsuf jalanan — sinis, tapi bijak. Ia berkata, “Manusia tidak diciptakan untuk suci. Kita hanya diciptakan untuk mencoba.”
Dialog-dialog semacam ini yang membuat Tales of Crestoria lebih dari sekadar game RPG. Ia menjadi perjalanan spiritual — tentang menerima diri sendiri, mengampuni masa lalu, dan tetap berjalan meski seluruh dunia menolak.
Sebagai pembawa berita yang sudah banyak meliput perkembangan dunia game, saya jarang menemukan mobile RPG yang berani seberani ini dalam membahas moralitas. Ia tak takut untuk “gelap”, tak ragu menampilkan karakter cacat secara emosional. Justru dari ketidaksempurnaan itulah, pemain merasa dekat.
Gameplay: Strategi, Koleksi, dan Emosi yang Bertabrakan
Secara mekanik, Tales of Crestoria mengikuti gaya turn-based battle system klasik, di mana pemain harus menyiapkan tim berisi lima karakter dengan kombinasi kemampuan yang tepat. Tapi jangan salah, meski mekaniknya sederhana, ada lapisan strategi yang cukup dalam.
Setiap karakter memiliki Mystic Arte — jurus pamungkas yang diambil dari seri Tales sebelumnya. Ada sensasi nostalgia tersendiri ketika melihat karakter legendaris seperti Milla Maxwell atau Luke fon Fabre hadir dalam bentuk art bergaya anime yang menawan. Sistem Vision Orb juga menambah elemen unik, karena pemain bisa melihat potongan kisah pribadi tiap karakter lewat orb tersebut.
Yang membuat game ini istimewa bukan hanya pertarungannya, melainkan bagaimana setiap pertarungan terasa punya bobot emosional. Tidak ada pertempuran yang terasa “kosong”. Bahkan melawan musuh biasa pun, sering kali pemain disuguhkan dialog pendek yang memuat refleksi batin para karakter.
Namun sayangnya, sistem gacha yang menjadi fondasi monetisasi game ini menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberi semangat pemain untuk mengoleksi karakter favorit. Tapi di sisi lain, banyak yang mengeluh karena peluang mendapatkan karakter SSR (Super Super Rare) sangat rendah. Mungkin itu salah satu alasan mengapa sebagian pemain merasa frustrasi di akhir masa hidup game ini.
Tales of Crestoria Penutupan yang Mengharukan: Akhir yang Tak Sebenarnya Akhir
Ketika Bandai Namco mengumumkan penutupan Tales of Crestoria, komunitas gamer di seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Banyak yang mengira game ini akan hidup lama karena basis penggemarnya kuat. Namun dunia mobile memang keras — terutama untuk RPG naratif yang membutuhkan investasi besar tapi hasilnya tidak secepat game kompetitif.
Yang membuat perpisahan ini semakin mengharukan adalah bagaimana tim pengembangnya menutup cerita dengan penuh hormat. Dalam update terakhir, mereka merilis epilog yang menegaskan bahwa perjuangan Kanata dan teman-temannya tidak sia-sia. Bahwa meski dunia menolak mereka, mereka akhirnya menemukan kedamaian.
Seorang pemain di forum luar negeri menulis: “Aku tidak ingin melupakan Crestoria. Aku ingin hidup seperti Kanata — dengan kesalahan, tapi terus berjuang.” Itu kalimat yang menggambarkan esensi game ini lebih baik daripada ulasan profesional mana pun.
Hingga kini, banyak penggemar yang masih mengunggah fan art dan video tribute untuk Tales of Crestoria. Beberapa bahkan membuat versi fan server untuk mempertahankan kenangan. Ini menunjukkan bahwa game ini bukan sekadar hiburan — tapi pengalaman emosional yang membekas.
Warisan Tales of Crestoria: Lebih dari Sekadar Game
Di tengah derasnya tren gacha dan game cepat saji, Tales of Crestoria hadir seperti sebuah puisi yang menolak dilupakan. Ia mungkin bukan game yang paling sukses secara finansial, tapi jelas salah satu yang paling berani dalam menyampaikan pesan moral dan kemanusiaan.
Game ini mengajarkan kita bahwa tidak semua yang disebut “pendosa” pantas dibenci. Bahwa terkadang, yang disebut “jahat” hanyalah mereka yang berani memilih jalan sendiri. Lewat Kanata dan kawan-kawan, kita belajar menerima bahwa kebenaran tidak selalu tunggal, dan pengampunan selalu mungkin, bahkan setelah segalanya runtuh.
Saya pribadi percaya, Tales of Crestoria akan dikenang seperti Undertale atau NieR: Automata — bukan karena mekaniknya, tapi karena hatinya.
Di dunia di mana game sering kali dibuat untuk mengejar angka, Crestoria hadir untuk menyentuh jiwa. Dan mungkin, itu sudah cukup untuk membuatnya abadi.
Tales of Crestoria bukan hanya tentang petualangan fantasi, tapi tentang perjalanan manusia memahami dosa, cinta, dan makna penebusan. Game ini adalah bukti bahwa medium interaktif bisa menjadi wadah refleksi mendalam tentang moralitas dan emosi.
Mungkin server-nya sudah tiada, tapi kisahnya tetap hidup — di hati para pemain yang pernah tersentuh oleh dunia di mana dosa bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju pengampunan.
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Gaming
Baca Juga Artikel Berikut: Eternal Tree: Petualangan Fantasi yang Penuh Harapan dan Tragedi di Dunia yang Abadi