Rule of Rose: Game Horor yang Dihantui Cerita Tragis

Kamu mungkin pernah mendengar game ini hanya sebagai “game horor aneh dari Jepang,” tapi begitu kamu menyelami Rule of Rose, kamu akan tahu: ini adalah kisah luka masa kecil yang dibungkus dalam gaun viktorian dan boneka berdarah. Dirilis tahun 2006 untuk PlayStation 2, Rule of Rose adalah satu dari segelintir game yang mampu mengguncang pemainnya secara psikologis dan emosional.

Permainannya seperti mimpi—atau lebih tepatnya, mimpi buruk yang terlalu realistis. Ia membawa kita ke tahun 1930-an Inggris, di mana seorang wanita muda bernama Jennifer tersesat di dunia anak-anak yatim piatu yang lebih kejam daripada dunia dewasa manapun. Sekilas tampak seperti Alice in Wonderland versi kelam dan berdarah. Tapi jangan salah: ini lebih dekat ke trauma anak-anak yang dibungkam dan dibungkus simbolisme yang meresahkan.

Saya masih ingat pertama kali memainkan game ini. Butuh waktu hampir sejam hanya untuk memahami apa yang sedang terjadi. Bukan karena kontrolnya rumit, tapi karena atmosfernya menekan. Musik minimalis, suara tangisan samar, lorong panjang tanpa akhir—semua terasa nyata. Dan justru di sanalah letak kekuatannya.

Simbolisme dan Trauma: Cerita yang Tak Dicerna Sekali Main

Rule of Rose

Bukan tanpa alasan Rule of Rose sering disebut sebagai game yang “terlalu dalam untuk zamannya.” Di balik gameplay survival horor-nya yang sederhana—menavigasi ruangan, memecahkan teka-teki, melawan monster—tersimpan kisah yang harus dibaca perlahan. Seperti novel tipis yang sarat makna.

Jennifer, sang protagonis, adalah gadis muda yang tak hanya kehilangan orang tuanya, tapi juga kenangan akan siapa dirinya. Di game ini, kamu akan menyaksikan Jennifer dipaksa tunduk oleh klub aneh bernama “Red Crayon Aristocrats”, kelompok anak perempuan yang memberi perintah kejam dan menuntut persembahan bulanan.

Yang membuatnya lebih menyeramkan: semua ini dilakukan oleh anak-anak. Tapi bukan anak-anak biasa. Mereka mewakili trauma, kemarahan, dan rasa kehilangan yang belum pernah diproses. Setiap karakter mencerminkan sisi gelap masa kecil: rasa iri, kecemburuan, kesepian, bahkan kekejaman yang muncul dari ketakutan akan ditinggalkan.

Ambil contoh karakter Diana, yang selalu menyiksa Jennifer secara verbal. Namun di balik sikap galaknya, tersimpan kesedihan karena kehilangan kendali dan rasa iri yang dalam. Atau Eleanor, si pendiam yang menyimpan boneka-boneka berbentuk manusia. Ia bukan sekadar aneh, ia butuh kontrol atas dunia karena hidupnya begitu kacau.

Game ini tidak menyuapi kita dengan narasi eksplisit. Tidak ada cutscene panjang yang menjelaskan segalanya. Kamu harus membaca diari, memperhatikan gestur karakter, menyimak kalimat anak-anak yang terdengar absurd tapi penuh petunjuk.

Diblokir dan Disalahpahami: Kontroversi yang Membunuh Potensi

Sayangnya, Rule of Rose bukan game yang diberi ruang untuk bersinar. Tak lama setelah perilisannya, game ini ditarik dari peredaran di beberapa negara Eropa. Pemerintah Italia bahkan mengecamnya karena dianggap “mengandung unsur kekerasan seksual terhadap anak.” Padahal, tak satu pun adegan eksplisit muncul dalam game.

Kontroversi ini bermula dari misinterpretasi. Media memblow-up tema game sebagai “child abuse simulator” tanpa benar-benar memainkannya. Padahal, jika dimainkan dengan cermat, Rule of Rose justru merupakan kritik terhadap kekerasan psikologis dan penindasan emosional yang dialami anak-anak.

Akibatnya? Game ini tak pernah dijual secara resmi di banyak wilayah. Bahkan di Jepang sendiri, distribusinya terbatas. Ini menyedihkan, karena Rule of Rose punya potensi jadi klasik sejajar dengan Silent Hill 2 atau Fatal Frame.

Anekdot menarik datang dari komunitas penggemar game horor. Seorang kolektor dari Kanada pernah berkata dalam wawancara forum, “Saya membayar 300 dollar untuk salinan Rule of Rose. Dan saya tidak menyesal sama sekali.” Itulah bukti bahwa meski disalahpahami secara publik, game ini dihargai oleh mereka yang benar-benar memahami kedalamannya.

Gameplay yang Terasa Rapuh, Tapi Penuh Makna

Jujur saja, jika kamu mencari gameplay yang memuaskan, Rule of Rose mungkin akan mengecewakan. Kontrol karakter Jennifer terasa kaku, sistem pertarungannya buruk (kamu bisa mengayunkan garpu sebagai senjata), dan kamera kadang menyulitkan. Tapi anehnya, semua itu justru memperkuat atmosfer game.

Jennifer bukan pahlawan. Dia gadis biasa yang takut. Ketika dia melawan monster—yang ternyata adalah personifikasi trauma masa lalunya—dia tidak lincah atau kuat. Dia lamban, gugup, dan sering jatuh. Tapi di situlah kekuatannya. Kita tidak bermain sebagai penyelamat dunia, tapi sebagai seseorang yang sedang belajar berdamai dengan luka lama.

Fitur menarik lainnya adalah kehadiran anjing bernama Brown. Ia bukan sekadar teman, tapi satu-satunya makhluk yang benar-benar setia pada Jennifer. Kamu bisa menyuruh Brown mencari item, dan interaksimu dengannya akan membentuk salah satu aspek emosional paling menyentuh dalam game.

Saya ingat satu adegan yang membuat saya berhenti bermain sejenak. Jennifer duduk sendirian, Brown di sisinya, dan hanya terdengar suara angin. Tidak ada dialog. Tidak ada musik. Tapi emosi yang terpancar dari layar itu nyata. Hening yang menghantui.

Warisan Rule of Rose: Game yang Dikenang Diam-diam

Meskipun Rule of Rose tidak masuk dalam daftar penjualan terbaik atau deretan penghargaan game horor legendaris, ia tetap hidup—dalam komunitas kecil yang merawat ingatan tentangnya. Di Reddit, YouTube, hingga server Discord khusus, diskusi tentang makna simbol, teori karakter, dan interpretasi akhir cerita masih berlangsung.

Beberapa fans bahkan membuat fan art dan novelisasi ulang dari kisah Jennifer. Beberapa lainnya berusaha merekonstruksi timeline cerita yang ambigu. Bahkan ada upaya membuat remake versi tidak resmi menggunakan Unreal Engine—meskipun terbentur masalah hak cipta.

Yang jelas, Rule of Rose adalah game yang “terkubur hidup-hidup”—bukan karena jelek, tapi karena salah paham. Ia adalah contoh nyata bahwa media interaktif seperti game bisa menyampaikan trauma dan emosi dengan cara yang tak bisa dilakukan oleh film atau buku.

Sekarang, mencari salinan fisik Rule of Rose hampir mustahil. Harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Tapi bagi sebagian orang, itu adalah harga yang layak dibayar untuk pengalaman yang tidak akan mereka lupakan.

Penutup: Mengapa Rule of Rose Layak Dikenang

Dalam dunia game yang penuh dengan aksi, efek ledakan, dan pencapaian, Rule of Rose hadir sebagai anomali. Sebuah kisah sunyi tentang kesedihan, penindasan, dan memori masa kecil yang tak bisa kita kubur begitu saja.

Ia bukan untuk semua orang. Tapi untuk mereka yang cukup sabar dan sensitif, Rule of Rose adalah perjalanan menyakitkan yang justru mengingatkan kita: bahwa kegelapan masa kecil bisa membentuk siapa kita hari ini. Dan kadang, menghadapi monster berarti menghadapi diri kita sendiri.

Jika kamu seorang penggemar game horor yang lebih dari sekadar jump scare, atau jika kamu menyukai narasi yang melibatkan psikologi dan simbolisme, maka Rule of Rose adalah game yang harus kamu kenali—bahkan jika hanya lewat cerita orang lain.

Baca Juga Artikel dari: Pizza Ready Game: Serunya Menjadi Master Pizza Genggaman

Baca Juga Konten dengan Aritkel Terkait Tentang: Gaming

Author