Jakarta, teckknow.com – Kita hidup di era yang paradoks—terhubung 24 jam lewat teknologi, tapi seringkali merasa terasing. Hideo Kojima sepertinya paham betul perasaan ini saat menciptakan Death Stranding. Game ini bukan cuma petualangan aksi biasa. Ia adalah meditasi digital tentang keterhubungan, trauma, dan harapan yang dirajut dalam dunia pasca-apokaliptik.
Mari kita telusuri Death Stranding, bukan hanya sebagai game, tapi sebagai pengalaman yang—mungkin secara tidak sengaja—mencerminkan jiwa zaman.
Awal Mula: Ketika Dunia Kojima Lebih dari Sekadar MGS
Setelah meninggalkan Konami dan waralaba Metal Gear Solid, Kojima seperti melepaskan diri dari kungkungan kreativitas. Bersama Kojima Productions dan dengan dukungan Sony, lahirlah Death Stranding di tahun 2019. Sejak trailer pertamanya yang sureal—dengan bayi dalam kapsul dan Norman Reedus telanjang di pantai—dunia tahu bahwa ini bukan game biasa.
Game ini mengambil latar waktu setelah fenomena misterius bernama “Death Stranding” yang menyebabkan dunia terpecah, roh-roh orang mati berkeliaran, dan umat manusia terisolasi dalam shelter-shelter kecil.
Pemain memerankan Sam Porter Bridges, seorang kurir yang tugasnya sederhana tapi penting: mengantar barang dan menyambungkan kembali Amerika. Di sinilah letak uniknya. Misi utama bukan menyelamatkan dunia lewat senjata, tapi lewat hubungan.
Gameplay: Yakin Ini Cuma Jalan dan Antar Paket?
Kalau kamu berharap Death Stranding akan seintens Call of Duty, kamu mungkin kecewa. Tapi kalau kamu mau mengalami gameplay yang reflektif dan penuh makna, di sinilah tempatnya.
Hal yang Akan Kamu Lakukan:
-
Menavigasi medan ekstrem: dari pegunungan bersalju hingga sungai deras.
-
Menjaga keseimbangan saat membawa puluhan kilogram kargo di punggung.
-
Menghindari entitas misterius bernama BTs (Beached Things).
-
Menghubungkan jaringan Chiral yang mengikat kembali masyarakat Amerika.
Kedengarannya membosankan? Tapi justru dalam kebosanan itulah muncul keindahan. Saat kamu berjalan sendirian di padang sepi, dengan lagu dari Low Roar mengalun pelan, ada momen di mana kamu benar-benar merasa—aneh tapi nyata—terhubung.
Kojima menyebut ini sebagai “Social Strand System”. Pemain tidak langsung terhubung dengan pemain lain, tapi kamu bisa membantu mereka secara tidak langsung: membangun jembatan, meninggalkan peringatan, atau menyuplai baterai. Kamu tak pernah tahu siapa yang kamu bantu, tapi kamu tahu kamu bukan sendirian.
Narasi dan Simbolisme: Berat Tapi Personal
Death Stranding bukan cuma punya cerita panjang—ia punya lapisan. Masing-masing karakter punya nama simbolik:
-
Sam Porter Bridges: “Porter” sebagai pengantar, “Bridges” sebagai jembatan penghubung.
-
Die-Hardman: Pemimpin keras kepala dengan masa lalu kelam.
-
Fragile: Wanita kuat tapi “rapuh”, literal dan metaforis.
-
Higgs: Antagonis yang percaya kekacauan adalah jawaban.
Tema utama game ini adalah keterhubungan, kematian, trauma, dan rekonsiliasi. Bahkan bayi dalam kapsul (BB – Bridge Baby) mewakili ikatan paling dasar antara manusia: ibu dan anak, kehidupan dan kematian.
Ada juga elemen eksistensialis: Apakah hidup kita hanya tugas rutin? Apakah makna datang dari tujuan besar atau dari langkah kecil sehari-hari?
Banyak pemain yang bilang mereka menangis bukan karena endingnya sedih, tapi karena game ini “bicara” ke bagian dalam dari diri mereka yang jarang disentuh game lain.
Respon Komunitas dan Dunia Gaming: Kontroversial tapi Ikonik
Tidak semua orang suka Death Stranding. Beberapa menganggapnya “game antar paket simulator”. Tapi bahkan yang tidak suka pun harus mengakui: game ini berani berbeda.
Reaksi Komunitas:
-
Game reviewer terbelah dua. Ada yang beri 10/10 karena visinya, ada yang kasih 6 karena gameplay-nya terlalu repetitif.
-
Komunitas Reddit dan YouTube membanjiri teori, esai video, hingga fan art. Banyak yang membandingkan game ini dengan karya film art-house.
-
Gamer kasual bingung tapi penasaran: “Kok gue bisa nangis gara-gara jembatan yang dibangun orang lain?”
Tapi satu hal pasti: setelah Death Stranding, industri game tahu bahwa narasi dalam game bisa sejajar dengan film dan novel—bahkan dalam beberapa aspek, melebihi mereka.
Warisan dan Pengaruh Budaya Pop
Death Stranding tak berhenti di game pertama. Versi Director’s Cut dirilis di PS5 dengan fitur tambahan. Dan pada 2022, Kojima mengumumkan Death Stranding 2 dengan teaser surealis yang kembali memantik hype.
Lebih dari itu, Death Stranding meninggalkan jejak dalam budaya pop:
-
Musik Low Roar mengalami kebangkitan popularitas.
-
Cosplay karakter seperti Sam dan Fragile meramaikan konvensi dunia.
-
Diskusi filosofis soal keterasingan dan koneksi marak di forum-forum gamer dan akademisi.
Bahkan selama pandemi COVID-19, banyak yang menyebut Death Stranding sebagai “game yang memprediksi masa depan” karena menggambarkan isolasi sosial dan pentingnya koneksi non-fisik.
Penutup: Sebuah Perjalanan, Bukan Tujuan
Death Stranding bukan game untuk semua orang, dan itu justru kelebihannya. Ia tidak kompromi terhadap pasar. Ia menawarkan pengalaman yang tidak selalu menyenangkan, tapi sangat mengena.
Seperti kata Kojima, “Game ini bukan tentang menyelamatkan dunia. Ini tentang menyambungkan kembali dunia.” Dan setelah memainkan Death Stranding, kamu mungkin akan bertanya ke diri sendiri:
Apakah kamu sedang berjalan sendirian? Atau kamu bagian dari jaringan yang lebih besar—di dunia nyata?
Karena, siapa tahu, setiap langkah kecilmu mungkin sedang membangun jembatan yang tak terlihat.
Baca Juga Artikel dari: Neko Atsume – Game Kucing Lucu untuk Kamu Coba
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming