Game “Adopt Me”: Dunia Virtual yang Menyatukan Generasi

Jakarta, teckknow.com – Mari kita mulai dengan sebuah fakta menarik: “Adopt Me” adalah salah satu game paling populer di Roblox, dengan lebih dari 30 miliar kunjungan. Ya, kamu tidak salah baca — tiga puluh miliar. Angka itu bahkan lebih tinggi dari populasi manusia di Bumi.

Awalnya, “Adopt Me” hanyalah salah satu dari ribuan game yang lahir dari platform Roblox. Dibuat oleh tim kecil dari Uplift Games (dulunya bernama DreamCraft), game ini dirilis pada 2017 sebagai simulasi adopsi anak dalam dunia virtual. Namun sejak update besar-besaran di 2019, fokusnya bergeser ke adopsi hewan peliharaan — dan di situlah keajaiban dimulai.

Bayangkan ini: kamu log in, masuk ke rumah lucu yang bisa kamu dekorasi sesuka hati, memelihara seekor naga terbang, lalu bertukar unicorn dengan pemain dari Brasil, Jepang, atau Afrika Selatan. “Adopt Me” bukan sekadar game — ini dunia tempat semua bisa jadi mungkin.

Contoh nyata? Seorang remaja bernama Maya dari Texas dilaporkan punya akun dengan koleksi hewan langka senilai lebih dari $5.000 (dalam mata uang Robux). Saking seriusnya, dia bahkan pernah dibohongi oleh temannya sendiri dalam trade palsu — dan kisah itu viral di TikTok. Game ini mungkin tampak imut, tapi emosinya nyata.

Gameplay dan Dinamika Sosial: Simpel Tapi Nempel di Hati

Adopt Me

Oke, mari kita bicara gameplay.

Di “Adopt Me,” kamu bisa memilih peran: jadi orang tua atau bayi. Tapi daya tarik utamanya? Hewan peliharaan (pets). Kamu bisa menetaskan telur, merawat hewan, dan — ini yang penting — mengembangkan mereka hingga jadi “Neon” atau “Mega Neon” pet yang langka dan berkilau.

Tapi semua itu hanya puncak gunung es.

Di baliknya, ada sistem ekonomi barter yang kompleks. Pemain bertukar hewan dan item — mulai dari stroller langka, kendaraan, hingga furnitur rumah. Ini seperti eBay versi dunia anak-anak. Serius deh, ada forum komunitas yang menganalisis “value list” tiap pet, layaknya pasar saham.

Dan jangan lupakan elemen sosial. “Adopt Me” menjadi ruang aman (dan lucu) untuk bertemu teman baru. Ada yang roleplay sebagai keluarga besar, ada yang jadi trader profesional. Bahkan ada pasangan virtual yang “menikah” di dalam game ini (walau nggak jarang “cerai” juga keesokan harinya, hehe).

Buat generasi Gen Z dan Alpha, ini semacam Sims + Pokémon + Animal Crossing, tapi lebih cair dan bisa dimainkan langsung di HP.

Mengapa “Adopt Me” Bisa Bikin Kecanduan? Psikologinya Menarik Banget

Kalau kamu pikir ini cuma game anak-anak, pikir lagi.

“Adopt Me” menerapkan banyak prinsip psikologi perilaku. Mari kita bahas beberapa yang paling kuat:

  • Variable Reward System
    Pemain tidak tahu hewan apa yang akan menetas dari telur. Sistem ini mirip “loot box” atau gacha, yang bisa bikin kamu penasaran terus-menerus. Otak kita suka kejutan, apalagi kalau itu naga emas.

  • Progression Loop
    Kamu harus merawat hewan agar naik level. Butuh waktu dan konsistensi — dan itu menciptakan rasa kepemilikan. Semakin kamu rawat, semakin berharga pet tersebut buatmu.

  • Social Validation & Rarity
    Punya Shadow Dragon atau Frost Fury yang langka? Siap-siap jadi pusat perhatian. Game ini membangun status sosial berdasarkan koleksi digital.

  • Customisasi & Ekspresi Diri
    Rumah dan karakter bisa didesain bebas. Ini penting untuk Gen Z yang tumbuh dengan budaya “self-expression.” Mereka ingin dunia virtual yang mencerminkan kepribadian.

Contoh? Lihat saja konten-konten TikTok bertema “Rich Adopt Me Inventory Tour” atau “How I got my Dream Pet.” Ratusan ribu views, komentar penuh pujian dan iri sekaligus. Dunia maya ini sungguh bikin candu.

Ekonomi Virtual: Ketika Unicorn Bisa Bernilai Lebih dari Pizza Dunia Nyata

Mungkin terdengar absurd, tapi dalam dunia “Adopt Me,” seekor Unicorn Fly-Ride yang sudah full grown bisa ditukar dengan Robux senilai ratusan ribu rupiah. Bahkan ada yang mengubahnya jadi mata uang sosial — “lo keren banget, lo punya Bat Dragon.”

Ada juga kasus penipuan. Anak-anak yang belum mengerti konsep phishing sering tertipu dan kehilangan seluruh inventaris mereka. Makanya, tim Uplift Games menerapkan fitur keamanan ekstra dan sistem moderasi yang ketat.

Tapi di sisi lain, ekonomi ini juga melatih anak-anak memahami konsep supply-demand, rarity, dan bahkan negosiasi. Bukan hal yang buruk untuk generasi digital native.

Menariknya, Uplift Games juga menjadikan “Adopt Me” sebagai sumber pemasukan utama mereka — dengan menjual item premium (lewat Robux) dan membuat update musiman seperti “Winter Update,” “Halloween Event,” dan sebagainya. Ini mirip seperti strategi Fortnite, tapi dengan gaya pastel dan boneka imut.

Dampak Budaya dan Masa Depan “Adopt Me”

Game ini telah melampaui sekadar status “populer.” Ia telah menjadi bagian dari budaya online.

Di YouTube, konten-konten “Adopt Me” punya jutaan views. Dari review update terbaru, tips trading, hingga drama roleplay keluarga yang bikin ngakak (dan kadang, nangis juga). Influencer seperti MeganPlays bahkan membangun karier penuh waktu dari game ini.

“Adopt Me” juga menciptakan jembatan antar generasi. Anak dan orang tua bisa bermain bersama. Bahkan ada komunitas pemain dewasa yang memainkan game ini bukan untuk adopsi, tapi karena menikmati dinamika trading dan koleksi pet-nya.

Lalu, ke mana arah masa depan “Adopt Me”?

Tim Uplift Games sudah memberi petunjuk: mereka tengah mengembangkan game di luar Roblox. Artinya, ekosistem “Adopt Me” mungkin akan meluas ke platform lain — siapa tahu, kita akan melihatnya di konsol atau mobile game independen?

Yang jelas, dunia virtual ini sudah punya basis penggemar setia. Dan kalau kamu belum pernah main? Well, mungkin sekarang waktunya kamu coba… meski cuma buat lihat kenapa adikmu bisa betah 3 jam main dan nggak makan siang.

Penutup: Dunia Lucu, Emosi Nyata

Sebagai pembawa berita (dalam hati), saya bisa bilang: “Adopt Me” bukan cuma game. Ia adalah cerminan dari kebutuhan manusia — akan koneksi, ekspresi diri, dan ya, sedikit fantasi.

Kita hidup di era di mana hewan peliharaan digital bisa lebih berharga dari sepatu limited edition. Dan jujur? Saya nggak melihat itu sebagai hal buruk. Justru, ini peluang untuk memahami bagaimana teknologi dan imajinasi membentuk generasi masa depan.

Siapa sangka, di balik seekor koala pixelated, bisa tersimpan pelajaran tentang ekonomi, psikologi, dan bahkan empati.

Baca Juga Artikel dari: Menyelami Dunia Strategi Epik di Age of Empires IV

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming

Author